Keterampilan Mendengar untuk Mengerti

Bagi Tuhan: Mendengar Lebih Cepat (Berharga) dari pada Melihat (ilustrasi dari sumber internet)

Berbagai penelitian tentang alam semesta dan manusia hingga saat ini, menerangkan meski kecepatan suara lebih lambat dari pada kecepatan cahaya namun Tuhan merancang manusia mempunyai kepekaan pendengaran lebih cepat dari kepekaan melihat cahaya. Kecepatan pendengaran manusia adalah 0,025 detik sedangkan kecepatan penglihatan manusia adalah 0,2 detik. Ini artinya otak atau pikiran manusia lebih cepat menerima suara (mendengar) daripada cahaya (melihat).

Manusia diciptakan dengan sensor pendengaran lebih cepat adalah untuk bereaksi cepat untuk bertahan hidup. Misalnya mendengar suara seperti air menderu dari atas gunung berarti orang mendengar ada tumpahan air besar ke sungai atau banjir bandang. Atau ada suara guntur mengelegar di langit, meskipun di dalam rumah itu tandanya akan ada hujan badai. Manusia harus bersiap sedia terhadap perubahan alam ataupun bencana yang mengancam.

Salah satu ulasan menarik dari kemampuan mendengar manusia menurut penelitian seorang ilmuwan bernama Seth S Horowitz yang digambarkan dalam bukunya berjudul: “The Universal Sense: How Hearing Shape Mind”, suara di alam membentuk pola pikir manusia untuk bertahan hidup dari letusan gunung, hujan dan suara meteor menderu di langit namun juga suara lainnya seperti kicauan burung, lantuan melodi musik maupun lagu juga membentuk pikiran manusia setiap harinya secara emosional dan memori (ingatan). Lebih lanjut dia menerangkan bahwa bilamana dalam musik ada yang namanya musik orkestra, demikian juga dalam otak manusia ada “jaringan otak orkestra (neuronal orchestra)” yang menyerap audio tertentu dan meningkatkan kemampuan otak baik memori maupun emosional.

Sepertinya untuk meningkatkan kemampuan pikiran , manusia seyogyanay melakukan seleksi juga terhadap suara yang ingin didengarnya setiap menit hingga setiap hari untuk melatih jaringan orkestra secara postif dan berguna. Ini artinya manusia harus menemukan keterampilan mendengar yaitu mendengarkan yang berguna untuk pikiran dan hatinya setiap menit setiap hari.

Pada tulisan saya sebelumnya bagaimana Tuhan telah membuka misteri bagaimana manusia bisa mengerti yaitu kali pertama adalah dengan mendengarkan selanjutnya dengan menyimpan dalam hati dan akhirnya praktek dengan ketekunan

Ini artinya bahwa keterampilan mendengar adalah salah satu komponen penting untuk mengerti, sebagaimana yang Tuhan singkapkan.

Mengutip dari laman bible.org , hal mendengarkan (Hear) Firman Tuhan tercatat sekitar 347 kali. Jenis kata-katannya kurang lebih seperti ini: “Hear the Word of The Lord”, “Hear or Listen Oh Israel”, “Incline Your Ear”, “Give Ear , Pay or Give Attention”.

Dengan mendengarkan Firman Tuhan setiap hari artinya membaca Alkitab dengan suara yang jelas terdengar telinga kita setiap hari adalah kewajiban orang percaya. Membaca dengan bersuara tidak hanya dengan melihat dan membaca dalam hati. Seperti hasil penelitian, suara yang terdengar oleh telinga lebih cepat daripada gambar yang dilihat oleh mata.

Marilah saat ini melatih telinga dengan suara yang baik dari Firman Tuhan. Dengan memberikan suara Firman Tuhan setiap hari maka manusia roh kita setiap hari makin bertumbuh sehat dan kuat.

Jakarta, 23 November 2020.

Sepenggal Kisah Bangsa Toba dari Sisi Marga Napitupulu – bagian 3

Jadi apa kaitan suku bangsa Toba dengan suku bangsa Toraja bila melihat perkembangan informasi genetika manusia (dikenal dengan DNA : Deoxyribo Nucleic Acid) nenek moyang termuktahir?

Peta Genetika Dunia Garis Keturunan Bapak (Y)- www. transpacificproject.com

Berdasarkan teori dan penelitian genetika, suku bangsa Toba (Sumatera) modern berasal dari negeri Hunan, daratan Cina berdasarkan tipe snip P201: xM7,M134 –  (Karafet 2010). Sedangkan suku bangsa Toraja modern (Sulawesi) berasal dari negeri Sino-Tibet, dataran Cina  berdasarkan tipe snip M122. -(Karafet 2010).  Kedua tipe snip ini sudah ada di sebaran Asia Tenggara sejak 25,000 – 30,000 tahun yang lalu (Shi 2009).

Gunung Toba meletus sekitar 74,000 tahun yang lalu. Suku migrasi dari daratan cina tersebut hadir setelah letusan Gunung Toba. Artinya bila kawasan Gunung Toba purba sudah ada peradaban maka suku bangsa Toba purba bukanlah keturunan bangsa Cina melainkan memiliki ras atau DNA khas tersendiri. Hingga saat ini misteri nenek moyang belum terpecahkan, khususnya suku bangsa  Toba purba.  Dalam artian keturunan suku bangsa Toba modern saat ini yang mengklaim punya dasar silsilah langsung dari Raja Batak bisa jadi adalah keturunan campuran suku bangsa Toba purba dengan imigran Cina. Tentunya ini masih perlu penelitian lebih lanjut.

Menurut hasil penemuan terakhir tentang manusia purba di laman livescience  , tersingkap dari fosil yang ditemukan pada tahun 2009 yang lalu di gua monyet di bagian utara Laos, yang terletak di pegunungan Pahang pada ketinggian  1,170 mdpl telah berumur 63,000 tahun. Penemuan ini mengubah pemikiran bahwa populasi manusia modern 200,000 tahun yang lalu di Afrika melakukan migrasi dari sepanjang garis pantai ke India menuju Asia Tenggara kemudian menuju ke Selatan ke arah Indonesia dan Australasia (Australia, Selandia Baru, Kepulauan Pasifik). Kini ada pemikiran bahwa populasi lainnya menuju utara atau timur laut menuju Cina melewati pegunungan kemudian menuju Asia Tenggara dimana sebagian kemudian mengikuti alur sungai dan sebagian lagi menuju pegunungan Laos, Vietnam dan Thailand.

Untuk saat ini penelitian kepingan genetika manusia, nenek moyang semua manusia modern didominasi oleh genom manusia Afrika 200,000 tahun yang lalu yang diduga mulai bermigrasi sekitar 80,000 tahun yang lalu dan sampai ke daratan Asia kemudian menyebar dan menetap di dataran Indonesia, Papua Nugini dan Australia sebelum Gunung Toba meletus.  Kemudian dari Asia sebagian populasi menyeberang  ke daratan Eropa , Mediterania dan terakhir ke Amerika Utara dan Amerika Selatan.

Peta Genetika dari Family Tree (www.familiytreedna.com)

 

Tentunya perlu pengujian sampel hampir separuh populasi di dunia sebagaimana yang dilakukan oleh  tim ilmuwan dan sukarelawan dari familytreedna guna memetakan asal-usul setiap orang mulai dari tes dna senilai USD 89 .

Dari semua kilasan informasi tersebut di atas, untuk saat ini suku bangsa Toba purba merupakan keturunan suku dari daratan Afrika. Ketika Gunung Toba meletus 74,000 tahun yang lalu, mereka musnah dan iklim bumi menjadi kacau yakni menjadi zaman es berkepanjangan kurang lebih 1,000 tahun. Kemudian yang tidak terkena dampak letusan adalah populasi yang masih tinggal di daerah Afrika Timur  kurang lebih ada sekitar 5,000 orang. Sejak saat itu kehidupan menjadi sulit dan akhirnya mereka berpindah-pindah mencari  sumber makanan dan penghidupan hingga tersebar ke seluruh dunia.

Jadi kesimpulannya baik suku bangsa Toba modern maupun suku bangsa Toraja merupakan keturunan campuran bangsa Afrika dan bangsa Cina. Salah satu anak suku bangsa Toba modern yaitu marga Napitupulu, bagian dari peta genetika tersebut. Kesimpulan untuk saat ini.(jkt-21062017- 17.18)

www.edrolnapitupulu.com.

Kembali ke awal – bagian 1

Sepenggal Kisah Bangsa Toba dari Sisi Marga Napitupulu – bagian 2

Kemiripan Toba dan Toraja

Suku Bangsa Toba mempunyai kemiripan atau boleh saya katakan kesamaan dengan suku bangsa Toraja. Mengapa saya katakan demikian?

Pertama, hasil budaya keduanya sangat mirip mulai dari hasil tenun kain, rumah adat, hingga acara adat.

Hasil tenun kain Toba disebut kain Tenun Ulos umumnya bermotif garis vertikal, horisontal dan ukiran (gorga) dengan  warna dominan merah, hitam dan putih yang kerap dihiasi benang emas atau perak,  sedangkan hasil tenun ikat Toraja disebut Tenun Toraja umumnya bermotif garis vertikal, paruki dan parumba dengan warna dominan hitam, cokelat, biru tua dan merah.  Kedua tenun kedua suku bangsa ini digunakan untuk acara adat khusus selain perlambang kehormatan. 

Rumah adat khas Toba adalah bentuk atapnya melengkung dan pada ujung atap sebelah depan dilekatkan tanduk kerbau. Rumah khas tersebut dapat difungsikan sebagai tempat tinggal disebut Ruma atau tempat penyimpanan hasil tani (lumbung) disebut Sopo . Dinding rumah terdapat ukir-ukiran yang berwarna merah, putih dan hitam dikenal dengan nama gorga.

Untuk rumah adat khas Toraja dikenal dengan nama Tongkonan bentuk atapnya melengkung menyerupai perahu dan dibagian depan terdapat deretan tanduk kerbau. Umumnya di depan tongkonan dibangun lumbung padi yang disebut Alang yang depannya dihiasi ukiran bergambar ayam dan matahari dikenal dengan nama pa’bare allo, simbol untuk menyelesaikan perkara.

Upacara adat pernikahan dan kematian pada suku Toba sarat dengan perlakukan/prosesi  khusus seperti alunan musik seperti gondang dan uning-uningan, menari (manortor), pemberian ulos (mangulosi) dan jamuan makan besar. Pada acara pernikahan ada syarat mahar yang patut disepakati kedua keluarga perempuan dan laki-laki, disebut dengan sinamot. Pada acara kematian bilamana  mendiang yang akan dikuburkan sudah sempurna beranak cucu-cicit maka upacara dapat berlangsung hingga seminggu penuh dan dengan kegembiraan.

Demikian juga dengan upacara adat pernikahan suku Toraja sarat dengan perlakukan/prosesi  khusus seperti arak-arakan dengan Payung Kebesaran sebelum ke pelaminan dan jamuan makan besar dan minum tuak.  Upacara adat kematian juga sarat prosesi  yang mewah dikenal dengan nama Rambu Solo sebagai wujud penyempurnaan kematian, diawali dengan perarakan kerbau, pertunjukan musik daerah, pertunjukan tarian adat, pertunjukan adu kerbau hingga penyembelihan kerbau yang hingga bernilai milyaran sebagai hewan kurban.

Baik suku Toba maupun suku Toraja meyakini mitos bahwa nenek moyang mereka berasal dari nirwana dengan gelar Batara Guru yang berasal dari bahasa Sanskritt (Bhatara)Batara guru dalam mitologi suku Toba adalah anak dari dewa tertinggi, Mulajadi Na Bolon yang menguasai bumi. Begitu juga dengan Batara Guru dalam mitologi suku Toraja juga anak seorang dewa tertinggi, Sang Patotoqe atau Pong Banggai di Rante bertugas menguasa bumi.

Dari ketiga parameter tersebut di atas, besar dugaan Toba dan Toraja berasal dari populasi moyang yang sama. Pertanyaannya adalah mana yang tua atau si-abangan mana yang muda atau si-adek-an.

Sebelum melangkah jauh kepada sisi asal-muasal lebih dalam, ada baiknya membaca bagian ketiga perihal teori DNA terbaru asal-usul ras manusia dikaitkan dengan kedua suku dan penuturan sejarah mengenai keduanya pada bagian ketiga selanjutnya. (jkt-24052017)

www.edrolnapitupulu.com.

Lanjut ke bagian 3

Sepenggal Kisah Bangsa Toba dari Sisi Marga Napitupulu – bagian 1

Toba 1

Napitupulu.

Sebuah nama marga di suku Toba, Sumatera Utara. Menurut silsilah keluarga, saya berada pada garis keturunan no. 14 dari garis Napitupulu Sieang. Almarhum bapak saya beserta keluarga pendahulu kami telah lama bermukim di Desa Parsambilan, Kecamatan Silaen, Kabupaten Toba Samosir.

Saya sendiri dalam catatan kependudukan atau sipil secara sadar oleh kedua orang tua yang merantau ke tana batavia tidak dicantumkan. Alasan mereka saat saya tanya adalah untuk mempermudah pengurusan karena sentimen ras atau agama cenderung menyulitkan pengurusan akte kelahiran kala itu. Maka jadilah hingga sekarang, nama saya dalam register WNI tidak ada marganya.  Untuk memperbaiki agar marga tidak punah, maka keturunan saya saya sematkan sejak pertama kelahiran dengan nama belakang Napitupulu.

Tidak banyak literatur yang sahih perihal garis keturunan suku Toba moyang hingga masa kini. Setiap saya tanya ke para tetua marga, selalu bermula dari Raja Batak.  Nama Batak sendiri masih jadi belum kuat referensinya. Seperti diulas para ahli, Batak merupakan sebutan untuk kaum budak namun seiring perjalanan sejarah sebutan para penguasa untuk budak daerah Sumatera , Bata’menjadi nama suku yakni Batak.

Kitab kuno menyatakan bahwa keturunan manusia purbakala adalah dari Adam kemudian setelah peristiwa Bah maka keturunan manusia modern adalah dari Nuh. Dalam silsilah Batak, tak satu pun merunut pada nenek moyang pertama setelah Bah.  Masih perlu penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan garis keturunan yang lengkap mulai dari zaman Nuh hingga zaman sekarang.

Berdasarkan sejarah maupun literatur yang saya sempat telisik, suku Toba yang bermukim di Pulau Samosir maupun sekeliling pinggiran Danau Toba kemungkinan besar dan sangat mirip dengan suku purba di Sulawesi Selatan, yakni dari kerajaan Luwu.

Kerajaan Luwu adalah kerajaan purba yang menguasai wilayah Indonesia sekarang dan berdagang sekaligus bermigrasi hingga ke India, Afrika dan Cina.  Peradaban dan tanah tinggal penduduk atau suku Kerajaan Luwu sangat beragam mulai dari dataran tinggi, dataran rendah hingga pesisir pantai. Percampuran antar suku dataran tinggi dan suku pesisir sangat mungkin terjadi yakni suku Toraja dan suku Bugis.

Peranakan campuran ini suka berlayar dan berdagang melintasi perairan Selat Malaka maupun Laut China Selatan bahkan Samudera India.  Suatu  waktu mereka berlayar menuju Afrika melalui perairan Selat Malaka. Karena badai dan cuaca buruk sebelum masuk selat, mereka memutuskan menuju daratan terdekat menuju sungai. Melintaslah mereka melalui Sungai Asahan dan berujung ke daerah dekat  pinggiran Danau Toba. Bermukimlah mereka di sana dan beranak cucu, hingga berserak menyeberang ke dataran pulau Samosir.

Yang mempunyai garis keturunan Toraja (To Riaja) , bermukim di perbukitan pulau Samosir sekitar daerah Urat. Membangun peradaban suku dengan asas ketua adat dataran tinggi orang gunung, Raija. Guna mengingatkan kampung halaman mereka maka yaitu To Riaja, tetua kampung diberikan gelar “Riaja” yang memudahkan penyebutan menjadi “Raja”. Dari sinilah kemungkinan besar gelar Raja dari raja-raja suku Toba atau Batak Toba.

Mulai dari cara mendirikan rumah, tenun ikat, kepercayaan hingga bercocok tanam maka tak dapat dipungkiri suku Toba (Batak) adalah sub-suku dari suku Toraja (Toriaja).

Perihal deskripsi kesamaan kedua suku ini akan saya bahas di bagian kedua (2). (Jkt-22052017)
www.edrolnapitupulu.com

Lanjut ke bagian 2