Mengenal Filosofi Budaya Batak Toba: Hamoraon, Hagabeon, Hasangapon

Lingkaran Filosofi Hamoraon-Hagabeon-Hasangapon Berinti Holong

Bangsa Batak Toba dikenal dengan peninggalan keluhuran budayanya. Sepertinya nenek moyang orang Batak Toba meninggalkan filosofi budaya kepada generasi penerus hingga masa mendatang yang panjang.

Meskipun kini  ilmu pengetahuan maupun bukti peninggalan sejarah belum dapat memastikan siapa dan asal nenek moyang Batak Toba. Hanya filosofi budaya ini yang mereka wariskan yakni: Hamoraon, Hagabeon, Hasangapon.

Tiga nilai luhur yang seyogyanya dijiwai dalam setiap aktivitas masyarakat Batak Toba baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam pertemuan keluarga dan acara adat.

Hamoraon

Hamoraon berasal dari kata mora, yang artinya kaya. Secara harafiah, hamoraon artinya adalah kekayaan.

Hagabeon

Hagabeon berasal dari kata gabe, yang artinya mempunyai banyak keturunan (mempunyai anak laki-laki dan perempuan). Secara harafiah, hagabeon artinya adalah banyak turunan.

Hasangapon

Hasangapaon berasal dari kata sangap , yang artinya terhormat, mulia. Secara harafiah, hasangapaon artinya adalah kemuliaan.

Boleh dikatakan ketiga hal ini menjadi akar adat budaya Batak Toba.  Yang mendasari dari ketiganya itu sesungguhnya adalah Kasih (Holong).

Kasih terhadap Sang Pencipta Langit dan Bumi yang akhirnya menguatkan kasih terhadap sesama manusia.

Penjiwaan ketiganya paling dekat adalah prinsip hubungan kekeluargaan yang dikenal dengan sebutan “Dalihan Na Tolu”.

Penerapan Dalam Dalihan Na Tolu 

Dalihan Na Tolu misinya ada tiga yaitu: Somba Marhula-hula, Elek Marboru, Manat Mardongan Tubu.

Somba Marhula-hula

Melaksanakan somba marhula-hula atau menghormati (somba-somba) pihak keluarga istri.

Dari akar hamoraon, istri adalah pasangan hidup yang dengan restu-NYA adalah jembatan yang dapat memperkaya jalinan kekeluargaan antara keluarga pihak suami dan pihak isteri. Apalagi bila mendapatkan istri yang baik budi pekertinya yaitu takut akan Tuhan, yang tunduk kepada suami, menghormati orang tuanya juga mertuanya, hidup sederhana dan bekerja keras sehingga keluarganya dapat berpenampilan yang baik, punya pakaian yang layak dan sehat. Inilah kekayaan yang tak ternilai bagi suami yakni istri yang baik sehingga pihak suami sangat menghormati pihak keluarga istri karenanya.

Dari akar hagabeon yakni dari rahim istri yang subur lahir garis keturunan pihak suami. Dengan demikian, adanya keturunan akan menegakkan kekuatan generasi pihak suami. Apalagi konon dahulu, banyak anak banyak rezeki masih kuat berlaku dimana ladang luas dan ternak banyak sehingga banyak anak akan membantu mengurus usaha keluarga sehingga memperbanyak rezeki yang memperkaya keluarga suami juga keluarga istri. Inilah keberuntungan memiliki keturunan sehingga pihak suami sangat menghormati pihak keluarga istri karenanya.

Dari akar hasangapon, dengan memperlakukan istri sebagai pasangan yang sepadan dan menghormatinya sebagai teman hidup dan penopang keluarga dengan keterbukaan dan kejujuran serta kesetiaan maka secara tidak langsung menghadirkan berkat Tuhan bagi keluarga juga pihak keluarga istri.  Inilah menandakan suami menghormati juga pihak keluarga istri sama dengan memperlakukan istri.

Poin utama dari somba marhula-hula adalah  mendapatkan istri yang baik dan takut akan Tuhan, sedapat mungkin dari latar belakang keluarga yang baik dan berakar pada takut akan Tuhan.

Jangan  sampai salah mendapatkan istri karena akibatnya fatal karena melakukan somba marhula-hula akan sekadarnya  atau semata karena tuntutan adat bukan atas dasar kerelaan, buah kasih sayang dan saling menghormati.

Bila sampai mendapatkan istri yang kurang baik maka sepanjang umur pernikahan akan kerap dipenuhi konflik juga akan berimbas kepada pihak keluarga istri tentunya.

Elek Marboru 

Menggenapi elek marboru artinya dapat merangkul saudara perempuan keluarga sendiri dan pihak suami dari saudara perempuan kita, juga keluarga perempuan dari pihak ayah kita, dengan sikap rendah hati dan ramah (elek).

Dari akar hamoraon, siap sedia untuk membantu kelompok yang dalam tataran adat adalah yang posisinya “dibawah” dalam hal sifatnya meringankan langkah pihak “boru” entah itu membantu tenaga, pikiran ataupun materi.  Inilah menandakan  kita dari pihak yang tataran atas mampu membantu “boru” menemukan kekayaannya sendiri.

Dari akar hagabeon yakni pihak puak lelaki yakni penerus marga sesungguhnya ada karena berkat dari rahim “boru” yang selanjutnya mampu melanjutkan garis keturunan hingga jauh ke generasi depan.  Inilah menandakan  kita dari pihak puak lelaki yang berada pada tataran atas memperlakukan dengan hormat pihak “boru” yang turut andil menguatkan keturunan.

Dari akar hasangapon, umumnya pihak “boru” merupakan tangan kanan pihak hula-hula dalam acara paradaton yang bertugas membantu kelancaran acara adat yang digadang oleh pihak keluarga perempuan. Dalam acara adat, kita bisa berada dalam kelompok tataran atas maupun dalam kelompok “boru”.  Bilamana kita bertindak hormat dan baik dalam memperlakukan “boru” maka teladan kita akan menjadi kehormatan bagi kita. Kelak saat kita berada pada posisi “boru” maka akan dihormati juga.

Manat Mardongan Tubu

Menerapkan manat mardongan tubu artinya menerapkan prinsip kehati-hatian  (manat) dalam berinteraksi dengan orang-orang yang posisinya sejajar atau saudara yang semarga (dongan tubu) dimana pun kita berada termasuk dalam acara persekutuan maupun acara adat sekalipun.

Dari akar hamoraon, sedapat mungkin membawa perdamaian yakni dengan menghindarkan diri dari perselisihan atau pertikaian dengan saudara semarga khususnya dalam hal kekayaan. Seperti sedapat bersikap angkuh atau acuh-tak acuh dengan saudara semarga yang dalam posisi lemah atau kekurangan malahan sebaiknya ringan tangan membantu.  Inilah menandakan  hubungan semarga bisa memperkaya layaknya seperti keluarga sehubungan darah.

Dari akar hagabeon yakni sedapat mungkin dengan saudara semarga memperkenalkan kepada anak atau keturunan kita dengan relasi saudara semarga dan saling menghormati sesama keturunan satu marga. Sarananya dengan bergabung dalam persekutuan atau punguan satu marga sehingga memupuk kekuatan keturunan satu marga.

Dari akar hasangapon, dengan rasa saling menghormati dan saling menghargai terhadap satu marga maka pihak diluar satu marga akan melihat kebaikan tersebut bahkan meneladaninya sehingga saudara semarga akan menjadi terhormat dalam kalangan semarga juga diluar itu.

Demikianlah gambaran perwujudan akar filsafat budaya Batak yang sejauh ini saya pahami.

www.edrolnapitupulu.com

Sepenggal Kisah Bangsa Toba dari Sisi Marga Napitupulu – bagian 1

Toba 1

Napitupulu.

Sebuah nama marga di suku Toba, Sumatera Utara. Menurut silsilah keluarga, saya berada pada garis keturunan no. 14 dari garis Napitupulu Sieang. Almarhum bapak saya beserta keluarga pendahulu kami telah lama bermukim di Desa Parsambilan, Kecamatan Silaen, Kabupaten Toba Samosir.

Saya sendiri dalam catatan kependudukan atau sipil secara sadar oleh kedua orang tua yang merantau ke tana batavia tidak dicantumkan. Alasan mereka saat saya tanya adalah untuk mempermudah pengurusan karena sentimen ras atau agama cenderung menyulitkan pengurusan akte kelahiran kala itu. Maka jadilah hingga sekarang, nama saya dalam register WNI tidak ada marganya.  Untuk memperbaiki agar marga tidak punah, maka keturunan saya saya sematkan sejak pertama kelahiran dengan nama belakang Napitupulu.

Tidak banyak literatur yang sahih perihal garis keturunan suku Toba moyang hingga masa kini. Setiap saya tanya ke para tetua marga, selalu bermula dari Raja Batak.  Nama Batak sendiri masih jadi belum kuat referensinya. Seperti diulas para ahli, Batak merupakan sebutan untuk kaum budak namun seiring perjalanan sejarah sebutan para penguasa untuk budak daerah Sumatera , Bata’menjadi nama suku yakni Batak.

Kitab kuno menyatakan bahwa keturunan manusia purbakala adalah dari Adam kemudian setelah peristiwa Bah maka keturunan manusia modern adalah dari Nuh. Dalam silsilah Batak, tak satu pun merunut pada nenek moyang pertama setelah Bah.  Masih perlu penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan garis keturunan yang lengkap mulai dari zaman Nuh hingga zaman sekarang.

Berdasarkan sejarah maupun literatur yang saya sempat telisik, suku Toba yang bermukim di Pulau Samosir maupun sekeliling pinggiran Danau Toba kemungkinan besar dan sangat mirip dengan suku purba di Sulawesi Selatan, yakni dari kerajaan Luwu.

Kerajaan Luwu adalah kerajaan purba yang menguasai wilayah Indonesia sekarang dan berdagang sekaligus bermigrasi hingga ke India, Afrika dan Cina.  Peradaban dan tanah tinggal penduduk atau suku Kerajaan Luwu sangat beragam mulai dari dataran tinggi, dataran rendah hingga pesisir pantai. Percampuran antar suku dataran tinggi dan suku pesisir sangat mungkin terjadi yakni suku Toraja dan suku Bugis.

Peranakan campuran ini suka berlayar dan berdagang melintasi perairan Selat Malaka maupun Laut China Selatan bahkan Samudera India.  Suatu  waktu mereka berlayar menuju Afrika melalui perairan Selat Malaka. Karena badai dan cuaca buruk sebelum masuk selat, mereka memutuskan menuju daratan terdekat menuju sungai. Melintaslah mereka melalui Sungai Asahan dan berujung ke daerah dekat  pinggiran Danau Toba. Bermukimlah mereka di sana dan beranak cucu, hingga berserak menyeberang ke dataran pulau Samosir.

Yang mempunyai garis keturunan Toraja (To Riaja) , bermukim di perbukitan pulau Samosir sekitar daerah Urat. Membangun peradaban suku dengan asas ketua adat dataran tinggi orang gunung, Raija. Guna mengingatkan kampung halaman mereka maka yaitu To Riaja, tetua kampung diberikan gelar “Riaja” yang memudahkan penyebutan menjadi “Raja”. Dari sinilah kemungkinan besar gelar Raja dari raja-raja suku Toba atau Batak Toba.

Mulai dari cara mendirikan rumah, tenun ikat, kepercayaan hingga bercocok tanam maka tak dapat dipungkiri suku Toba (Batak) adalah sub-suku dari suku Toraja (Toriaja).

Perihal deskripsi kesamaan kedua suku ini akan saya bahas di bagian kedua (2). (Jkt-22052017)
www.edrolnapitupulu.com

Lanjut ke bagian 2